Kamis, 20 Desember 2012

Tradisionalisme dan Modernisme Islam


Tradisionalisme dan Modernisme Islam
dalam Perspektif Sosiologis

Oleh Moh. Din Hadi,S.Pd.I


Pendahuluan
Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda.
Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.[1]
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.[2]
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.[3] Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial,[4] antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality,[5]sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant,[6] yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis.
Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas. Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti yang pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).[7]
Dari temuan itu muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang disebut sebagai kelompok tradisionalis dan siapa yang pula yang disebut sebagai kelompok modernis? Apa ciri-ciri dari masing-masing tipe tersebut?
Maka di bawah ini penulis akan mencoba memahami konsep tradisionalisme dan modernisme Islam di Indonesia dari perspektif sosiologis.

1. Tradisionalisme Islam
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam.[8]
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan. Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.[9]
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.[10]  Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.[11]
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.[12] Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.[13]
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.[14]
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.[15]
Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.[16] Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.[17]
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.[18]
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.[19]
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.[20]
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.[21] Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.[22]
Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar[23] bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).[24]
            Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibdah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum, bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final dan tidak dapat dipertanyakan lagi.[25]

2. Modernisme Islam
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.[26]
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.         
            Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.[27]
            Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi sepanjang masa.[28]
            Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah, PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.[29]   
Di antara cirri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.[30]
            Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.[31]
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir rasional,[32] memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.[33] Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan.
Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok modernis.[34] Namun  dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.[35] Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[36]
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.[37]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[38] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

3. Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia
Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu sama lainnya.
Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian setelah adzan, dan mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk, kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan, tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji dalam sholat, membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras, menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.[39]
Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,[40] tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[41]
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[42]
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.[43]
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.[44]
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.[45] Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[46] Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.[47]
            Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.
            Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine, sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk dalam kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai penyimpangan dari genuinitas Islam.

4. Gejala Sosial yang Terjadi dalam Masyarakat Muslim Indonesia
Dari paparan di atas, ditemukan bagaiman Islam harus berhadapan dengan dinamika tiga lapisan realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional dan lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin tunggal, apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta kecenderungan doktrin dalam proses pembentukannya. Maka perubahan sosial-ekonomis bisa mempengaruhi perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.
            Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis antara system makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya. Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.[48]
            Dalam proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi terhadap struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna oleh mereka yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa pula terjadi.[49]
            Perubahan ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan politik ikut menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap suatu ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan), perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau ekonomi yang dialaminya.
Hal ini bisa dilihat dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam murni dalam masyarakat petani, yang menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).[50]
            Kenyataan ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat bahwa Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal kenyataan di lapangan tidak demikian.
            Kenyataan semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat Muhammadiyah, tetapi juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh Muhaimin, ada NU yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh kondisi sosial dan ekonomi yang lebih modern.



[1] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), 57.
[2] Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.
[3] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), 11.
[4] Andrew Rippin, Muslim, 35.
[5] Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.
[6] Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 5.
[7] Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).
[8] Ibid., 2.
[9] Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.
[10] Andrew Rippin, Muslim, 6.
[11] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.
[12] Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.
[13] Ibid.
[14] Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.
[15] Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.
[16] Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad  125-126.
[20] Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.
[21] Ibid.
[22] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.
[23] Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.
[24] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad,  124.
[25] Deliar Noer, Gerakan Modern, 320-321.
[26] Ibid., 12.
[27] Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.
[28] Ibid., 127.
[29] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.
[30] Ibid., 97.
[31] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996).
[32] Kacung Marijan, Quo Vadis NU.
[33] Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
[34] Ibid., 125.
[35] Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.
[36] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.
[37] Ibid., 183.
[38] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.
[39] Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
[40] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.
[41] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.
[42] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.
[43] Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
[44] Ibid.
[45] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad,  126.
[46] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.
[47] Andrew Rippin, Muslim, 127.
[48] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 10.
[49] Ibid., 11.
[50] Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

1 komentar:

Noor Hasanah mengatakan...

Boleh kah saya bertanya pak, Blog bapak sangat bagus.. Apakah dalam hal ibadah atau agama muhammadiyah pantas dikatakan tradisionalis seperti dikatakan diatas, jika arti tradisionalis sendiri adalah masyarakat yg mempertahankan tradisi lokal, dan mengembangkannya sesuai contoh ulama trdahulu dan ijma'. Atau ada alasan lain, mohon penjelasannya?