Tradisionalisme dan
Modernisme Islam
dalam Perspektif
Sosiologis
Oleh Moh. Din
Hadi,S.Pd.I
Pendahuluan
Sesungguhnya, Islam
yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran
tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah, akibat
perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan
penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda.
Jika diuraikan berdasarkan
kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat kategorisasi umat Islam;
tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan
nasionalis-sekuler.[1]
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi
dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang
pemikiran ideologis di atas tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial,
kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.[2]
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran
pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu
pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan
struktur interen yang berbeda-beda.[3]
Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok
di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri,
akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem
kehidupan sosial,[4] antara
Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality,[5]sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk
komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly
veriant,[6]
yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas NU dan
komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok
tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis.
Kelompok tradisionalis
sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa
praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau
sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis
adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas. Akan
tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek
budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti yang
pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam Murni
dalam Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat
varian masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam
murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis
(kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS,
Muhammadiyah-Nasionalis).[7]
Dari temuan itu muncul
pertanyaan, siapa sebenarnya yang disebut sebagai kelompok tradisionalis dan
siapa yang pula yang disebut sebagai kelompok modernis? Apa ciri-ciri dari
masing-masing tipe tersebut?
Maka di bawah ini penulis
akan mencoba memahami konsep tradisionalisme dan modernisme Islam di Indonesia dari
perspektif sosiologis.
1. Tradisionalisme Islam
Ketika berbicara
mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang adalah sebuah gambaran
mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot, masyarakat
yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid.
Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk
karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan
Islam.[8]
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,
pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen
Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.[9]
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan
untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa
lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.[10] Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis
adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta
kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam
pemikiran serta praktik Islam.[11]
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang
berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme,
dan fundamentalisme.[12]
Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme
adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau
dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.[13]
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu
ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan
secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.[14]
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang
konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran
ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang
dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik
madzhab empat.[15]
Kaum tradisionalis
meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak
beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam
bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang
telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.[16]
Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.[17]
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai
dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk
kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada
abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.[18]
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia
sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat
Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad
ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara
terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang
kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada
abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai
senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.[19]
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat
pada Islam tradisional Indonesia
meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat
menentukan dan kharismatik. Basis masa
kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya
Islam tradisionalis di Indonesia
dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis
adalah Islam pedesaan.[20]
Islam tradisional secara religi bersifat kultural,
secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara
politis bersifat oportunis.[21]
Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan
yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di
tingkat lokal.[22]
Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam
organisasi sosial keagamaan terbesar[23]
bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di
Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari
(Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).[24]
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibdah belaka. Bagi mereka
Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid
dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta,
sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum, bebas dari kesalahan. Dalam
situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai
belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final dan tidak dapat
dipertanyakan lagi.[25]
2. Modernisme Islam
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang
diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang
mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan
diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan
lagi di masa sekarang.[26]
Kata modern,
modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait
dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan
makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna
yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru
lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun
demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya
dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan
datang atau dalam konteks yang lain.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan
perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20
tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari
penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat
dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah
bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan
adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat
untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.[27]
Bagi
muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di
dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan
semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim
adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata.
Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak
ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi
mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan
dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku
sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat
manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa
kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok
ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu
melakukan interpretasi sepanjang masa.[28]
Rumusan
modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi,
dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar
biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan
pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia . Kaum modernis di Indonesia
sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah,
PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.[29]
Di antara cirri dari gerakan
Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota
memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat.
Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban
organisasi.[30]
Gerakan
ini di Indonesia memiliki
pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota ,
mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai
sebuah fenomena kota ,
di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf", yang pada
akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan
program yang paling utama.[31]
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus
diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini
cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai
pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir
rasional,[32]
memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan
industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.[33]
Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun
industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang
bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai
oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang
memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada
persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social
kemasyarakatan.
Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar
yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi
kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok
modernis.[34]
Namun dikotomi ini kemudian dianggap
tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih
terbuka terhadap modernitas.[35]
Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan
bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya,
Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam
memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada
dalam kelompok tradisonalis.[36]
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah,
menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham
Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam
memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi
masalah-masalah akidah.[37]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan
bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern
ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila,
pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[38]
Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa
pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya
khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan
munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh
kalangan pemuda NU.
3. Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam di
Indonesia
Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional
dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan
beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu
sama lainnya.
Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur,
sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian setelah adzan, dan
mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk,
kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana
layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan,
tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci
haji dalam sholat, membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara
keras, menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah
adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar
khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.[39]
Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah
adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol
tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan
dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan
jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,[40]
tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan
pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak
tercantum di dalam hadith sahih itu
bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip
kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd
lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[41]
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan)
yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan
memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian,
penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu
yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan
berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[42]
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan
dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang
digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara
Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.[43]
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan
awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU
dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah
berpegang pada hisâb. Dalam
pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at,
sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan
sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di
lapangan terbuka.[44]
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning
sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir
lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.[45]
Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem
klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[46]
Kelompok tradisionalis ini mengklaim
bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap
bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.[47]
Proses
individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi bisa
disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki
kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam
kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi
tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama
warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif.
Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah
dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen
tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.
Itulah
sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang
Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan
historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan
ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine,
sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan
tradisi-tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk
dalam kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa
tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang
genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi
lokal adalah persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai
penyimpangan dari genuinitas Islam.
4. Gejala Sosial yang Terjadi dalam
Masyarakat Muslim Indonesia
Dari paparan di atas,
ditemukan bagaiman Islam harus berhadapan dengan dinamika tiga lapisan
realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional dan
lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin
tunggal, apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat
dipengaruhi oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta
kecenderungan doktrin dalam proses pembentukannya. Maka perubahan
sosial-ekonomis bisa mempengaruhi perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.
Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang
bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi
penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan
mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis
antara system makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh
para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya.
Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya
kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.[48]
Dalam
proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan
pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap
perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi
terhadap struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna
oleh mereka yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa
pula terjadi.[49]
Perubahan
ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan politik ikut
menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap suatu
ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami
perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan),
perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau ekonomi yang
dialaminya.
Hal ini bisa dilihat
dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam murni dalam masyarakat petani, yang
menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada
aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok
al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai
Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam
neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).[50]
Kenyataan
ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat bahwa
Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal
kenyataan di lapangan tidak demikian.
Kenyataan
semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat Muhammadiyah, tetapi
juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat
NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh
Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh Muhaimin, ada NU
yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh kondisi sosial dan
ekonomi yang lebih modern.
[1] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya : LPAM, 2004),
57.
[2] Montgomery
Watt, Islamic Theolory and Philosophy.
[4] Andrew Rippin, Muslim,
35.
[5] Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari
sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan
konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini
Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam
Tibi, Islam and the Cultural, 8.
[8] Ibid., 2.
[9] Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.
[10] Andrew Rippin, Muslim, 6.
[12] Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English
Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.
[13] Ibid.
[14] Daniel Brown, Rethinking
Tradition, 2.
[15] Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan
tradisional adalah digunakannya konsep silsilah;
mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk
sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.
[16] Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and
Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ronald Alan Lukens Bull, A
Peaceful Jihad 125-126.
[20] Kacung Marijan, Quo Vadis NU
Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.
[21] Ibid.
[22] Zainuddin Maliki, Agama
Priyayi (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2004),
41.
[23] Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh
penduduk Indonesia .
Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap
Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter.
Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.
[24] Ronald Alan Lukens Bull, A
Peaceful Jihad, 124.
[26] Ibid., 12.
[28] Ibid., 127.
[29] Zainuddin Maliki, Agama
Priyayi, 41.
[31] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta:
LP3S, 1996).
[32] Kacung Marijan, Quo Vadis NU.
[33] Akbar S. Ahmed, Post
Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
[34] Ibid., 125.
[35] Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.
[36] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah, 185.
[37] Ibid., 183.
[38] Muhammad Azhar, Fiqh
Peradaban (Yogyakarta : Ittaqa Press,
2001), 89.
[40] Muhammad Azhar, Fiqh
Peradaban, 88.
[41] Seyyed Hossein Nasr, Traditional
Islam, 14-15.
[42] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah, 19.
[43] Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
[44] Ibid.
[45] Ronald Alan Lukens Bull, A
Peaceful Jihad, 126.
[46] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyyah, 107-108.
[47] Andrew Rippin, Muslim,
127.
[49] Ibid., 11.
1 komentar:
Boleh kah saya bertanya pak, Blog bapak sangat bagus.. Apakah dalam hal ibadah atau agama muhammadiyah pantas dikatakan tradisionalis seperti dikatakan diatas, jika arti tradisionalis sendiri adalah masyarakat yg mempertahankan tradisi lokal, dan mengembangkannya sesuai contoh ulama trdahulu dan ijma'. Atau ada alasan lain, mohon penjelasannya?
Posting Komentar